KKM UMC Desa Gunungwangi Konversi Ampas Kopi Jadi Pupuk
Mahasiswa KKM UMC 23 di Gunungwangi mengkonversi limbah kopi jadi pupuk organik, dorong pertanian berkelanjutan dan penguatan UMKM desa.

UMCPRESS.ID - Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC) yang tergabung dalam Kelompok KKM 23 di Desa Gunungwangi, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka, menghadirkan inovasi baru yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat.
Mereka memanfaatkan ampas kulit biji kopi yang selama ini hanya menjadi limbah, untuk diolah menjadi pupuk organik yang bermanfaat bagi lahan pertanian.
Program kerja ini digelar pada Kamis (4/9) dengan pendampingan langsung dari Dosen Pendamping Lapangan (DPL) UMC, Sylvani, MM.
Menurut Sylvani, program kerja tersebut merupakan bukti nyata bahwa mahasiswa KKM hadir bukan hanya untuk menjalankan kewajiban akademis, melainkan juga berkontribusi nyata terhadap desa binaan.
“Dedikasi mahasiswa KKM UMC di desa ini sangat luar biasa. Mereka hadir, menyatu, dan memberdayakan masyarakat. Bahkan dengan inovasi pemanfaatan limbah kopi menjadi pupuk, mereka menunjukkan keberanian untuk mengantarkan UMKM desa naik kelas,” ungkapnya.
Gunungwangi memang dikenal sebagai salah satu sentra kopi di Majalengka. Setiap panen, kulit biji kopi dalam jumlah besar sering kali terbuang begitu saja. Melihat kondisi tersebut, mahasiswa KKM UMC menggagas solusi yang sederhana namun berdampak besar: mengolah limbah kopi menjadi pupuk organik.
Hasilnya, petani kini mendapat alternatif pupuk yang ramah lingkungan, murah, sekaligus meningkatkan kualitas tanah.
Dalam pelaksanaannya, mahasiswa tidak hanya memperkenalkan konsep, tetapi langsung mengajak warga untuk praktik bersama. Mereka memberikan pelatihan, menjelaskan langkah demi langkah, hingga warga bisa memproduksi pupuk secara mandiri.
Kehadiran mahasiswa pun membuat masyarakat merasa ditemani, bukan sekadar diberi program sekali jalan.
Warga Gunungwangi menyambut baik inisiatif ini. Para petani menilai pupuk organik dari limbah kopi dapat mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia yang harganya semakin mahal.
Dengan biaya produksi yang lebih rendah, hasil pertanian pun diharapkan bisa meningkat. Kondisi ini membuka peluang bagi penguatan ekonomi lokal, terutama bagi UMKM yang bergerak di bidang pertanian dan produk turunan kopi.
Kegiatan ini memperlihatkan sinergi positif antara mahasiswa dan masyarakat. Suasana kebersamaan terjalin ketika mereka bekerja bersama, mengolah ampas kopi menjadi pupuk. Lebih dari sekadar menghasilkan produk, kebersamaan itu menumbuhkan rasa percaya diri masyarakat untuk terus melanjutkan inovasi ini meski mahasiswa telah menyelesaikan masa KKM.
Sylvani menegaskan, pengalaman ini penting untuk membentuk karakter mahasiswa sebagai agen perubahan.
“Desa adalah ruang belajar sosial yang sesungguhnya. Dari sini, mahasiswa belajar memahami permasalahan nyata sekaligus menghadirkan solusi. Ini yang membedakan antara teori di kelas dengan praktik di lapangan,” tegasnya.