Hadir di IKOPIN University, Prof Rokhmin : Urgensi Kedaulatan Pangan

Hadir di IKOPIN University, Prof Rokhmin : Urgensi Kedaulatan Pangan
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MSc, Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan (dok: umcpress.id)

UMCPRESS.ID - Masih banyaknya impor bahan makanan membuktikan bahwa saat ini Indonesia belum berdaulat atas pangannya sendiri. Sebab, kedaulatan pangan berarti sebuah negara mampu mengatur produksi dan konsumsi pertanian yang berorientasi kepada kepentingan lokal dan nasional, bukan pasar global. 

Demikian disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MSc, Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan pada  Diskusi Publik “Meningkatkan Ketahanan Pangan Dan Menurunkan Stunting” Kolaborasi Ikopin University dengan  ICMI Orwil Jawa Barat di Kampus IKOPIN University, Jatinangor, Jawa Barat, Rabu, 30 Agustus 2023.

Prof Rokhmin menegaskan, Indonesia harus menuju kedaulatan pangan, di mana pasokan datang dari dalam negeri. Mandiri dan berdikari, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Impor pangan justru semakin deras. 

"Kita masih berada di level ketahanan pangan, berdaulat masih belum. Padahal semua sumber kita punya. SDM melimpah, SDA apalagi.  Saya berharap diskusi, seminar dan berbagai forum ilmiah yang digelar di kampus tidak hanya berakhir pada tataran teoritis tapi butuh aksi yang implementatif. ICMI sebagai motor penggerak intelektual sejatinya lebih kontributif dalam aksi-aksi nyata. Diskusi hari ini mesti ada follow up program," ujar Sesupuh Cirebon-Indramayu.

Pangan Nasional

Mengingat konsumsi beras per kapita Indonesia tertinggi di dunia (sekitar 110 kg), rata-rata konsumsi beras per kapita dunia hanya 50 kg (FAO, 2020), konsumsi beras yang sehat < 60 kg per kapita (Puslitbang Gizi, 1999). Maka, harus ada kebijakan dan program prioritas nasional untuk mengurangi konsumsi beras hingga 60 kg per kapita, dan secara simultan diversifikasi konsumsi pangan non-beras: sagu, sorgum, umbi-umbian, tales, porang dan lain sebagainya.

Karena, Indonesia merupakan importir gandum terbesar kedua di dunia (rata-rata 12,5 juta ton/tahun) yang menghamburkan devisa cukup besar (US$ 4 milyar/tahun), padahal sagu dan komoditas pangan lokal lainnya sudah bisa dibuat mie.

Stop Impor

Kurangi dan kemudian stop impor gandum, dan secara simultan perkuat dan kembangkan industri pengolahan bahan baku non-gandum (sagu, ubi kayu, porang, dll) menjadi mie.

Setiap tahun Indonesia mengimpor sapi sekitar 800.000 ekor/tahun dan puluhan ribu ton daging sapi/tahun, perkuat dan kembangkan usaha peternakan sapi, dan tingkatkan konsumsi ikan per kapita nasional, karena Indonesia memiliki potensi produksi ikan terbesar di dunia (115 juta ton/tahun) dan baru dimanfaatkan sekitar 20% nya. 

Sejak 2009  hingga sekarang, Indonesia produsen perikanan terbesar di dunia (25 juta ton/tahun), setelah China (100 juta ton/tahun).

"Indonesia merupakan bangsa dengan food wastage terbesar kedua (20%) di dunia, setelah Arab Saudi (FAO, 2022) Harus ada kebijakan dan program prioritas untuk kurangi food wastage (food loss dan food waste) secara signifikan," tuturnya.

Prof Rokhmin juga mengingatkan agar kebijakan ekspor – impor pangan harus mengutamakan “national interest” (Kedaulatan Pangan Nasional). Kurangi dan stop subsidi input usaha onfarm, khususnya tanaman pangan pokok, dan ganti dengan  “double subsidy” untuk output pertanian. 

Perlu skim kredit perbankan khusus untuk sektor pangan, terutama yang belum kompetitif, dengan suku bunga relatif rendah dan persyaratan relatif lunak (bench marking dengan negara-negara pertanian utama lainnya). Iklim investasi dan ease doing business yang kondusif.

Pangan Jawa Barat

Berbicara Jawa Barat, Prof Rokhmin bilang persoalan stunting ini ada kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan pangan dan menjaga ketahanan pangan , karena jumlah penduduknya sangat besar dengan cakupan geografis yang luas dan tersebar. Jabar memerlukan pangan dalam jumlah mencukupi dan tersebar, yang memenuhi kriteria konsumsi maupun logistik, yang mudah diakses setiap orang.

Apalagi kehadiran transportasi publik yang menghubungkan Jakarta dan ke beberapa daerah di Jawa Barat, memudahkan mobilitas warga Jawa Barat yang memiliki aktifitas atau pekerjaan di ibu kota. Tidak hanya transportasi publik saja, akses infrastruktur Jawa Barat juga sudah mulai terkoordinasi dengan baik. Jawa Barat memiliki lebih dari 20 jalan tol yang aktif yang menghubungkan antar wilayah. 

Jawa Barat dinilai potensial untuk menjadi juara dalam bidang pangan, namun faktanya jawa tengah menyalip jawa barat untuk produksi padi, sehingga terpaksa Jawa Barat harus puas berada di peringkat ke 3 dalam hal pencapaian produksi padi tingkat nasional. Ranking pertama dipegang Jawa Timur. 

"Tentu menjadi perhatian bersama agar seluruh ikhtiar bisa diwujudkan. Berbagai pihak perlu terlibat, mulai dari pemerintah daerah, pemerintah pusat, organisasi masyarakat seperti ICMI Orwil Jabar dan Perguruan Tinggi," pungkas Prof Rokhmin.