Soal Sosialisasi Tupoksi, Rupbasan Kelas I Cirebon Sambangi FH UMC
UMCPRESS.ID - Coba tanyakan tentang lembaga rumah penyimpanan benda sitaan negara (Rupbasan), hanya segelintir penegak hukum dan masyarakat yang mengetahuinya.
Hampir semua orang di republik ini mengenal lembaga kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan pemasyarakatan sebagai lembaga yang dibentuk negara dalam kerangka menjalankan sistem peradilan pidana terpadu.
Pemahaman sederhana tersebut bukan suatu hal yang mengejutkan.
Untuk itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Cirebon (FH-UMC) Elya Kusuma Dewi mengapresiasi Rupbasan Kelas I Cirebon melakukan sosialisasi dalam upaya pengenalan tugas dan fungsi lembaga di bawah naungan Ditjenpas Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) ini.
Menurut Elya, sosialisasi ini dinilai sangat penting agar masyarakat luas mengetahui lebih jauh soal fungsi dan tugas (Tupoksi) Rupbasan Kelas I Cirebon.
"Dengan cara seperti ini mahasiswa dan masyarakat luas mengatahui soal tugas dan fungsi Rupbasan," ujar Elya kepada umcpress.id, Sabtu (16/4/2022).
Dengan kunjungan Rupbasan ini, Elya memastikan pihaknya juga akan membuat Memorandum of Understanding (MoA) dalam rangka Praktek Kerja Lapangan (PKL) mahasiswa FH UMC.
Sementara itu, Kepala Rupbasan, Fajar Nurcahyo Assyfa mengatakan publik masih banyak yang belum mengetahui Rupbasan. Padahal lemabaga ini sangat strategis dan memiliki tanggungjawab besar terhadap negara.
Rupbasan sebagai lembaga penting yang dikehendaki dan dilahirkan oleh pembentuk undang-undang.
Das Sollen, Rupbasan merupakan lembaga yang dicita-citakan pembentuk undang-undang sebagai penopang tiang-tiang keadilan. Karenanya dalam ketentuan Pasal 44 KUHAP dinyatakan:
(1) Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara;
(2) Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.
Ruang lingkup ketentuan Pasal 44 tersebut pada hakikatnya bertujuan agar benda sitaan, baik itu dalam wujudnya sebagai "corpora delicti" atau menjadi sasaran tindak pidana (misalnya: barang-barang yang dicuri, ditipu dsb), hasil dari tindak pidana (uang palsu, mobil mewah atau alat kesehatan hasil korupsi, dsb), atau benda-benda yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana (instrumenta delicti), dapat dipelihara dan dipergunakan secara baik sesuai tahapan pemeriksaan, baik untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pembuktian persidangan.
Lebih lanjut, pembentuk undang-undang juga sudah memprediksi bahwa ada benda sitaan yang akan lekas rusak atau yang membahayakan, oleh karenanya dalam ketentuan Pasal 45 KUHAP dinyatakan bahwa benda tersebut dapat dilelang dengan persetujuan tersangka atau terdakwa dan hasilnya dipakai sebagai barang bukti.
Kebiasaan selama ini, ketentuan Pasal 45 diartikan secara suka-suka sesuai selera aparat penegak hukum. Sehingga ketentuan Pasal 44 KUHAP diabaikan. Padahal kedua ketentuan tersebut merupakan satu rangkaian yang sistematis terkait pengaturan lembaga Rupbasan di dalam KUHAP.
Buktinya, dalam Pasal 30 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana dinyatakan "tanggung jawab secara fisik atas benda sitaan tersebut ada pada Kepala RUPBASAN". Di mana dalam Pasal sebelumnya, yakni Pasal 28 ayat (1) secara tegas dinyatakan "Penggunaan benda sitaan bagi keperluan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, harus ada surat permintaan dari pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas benda sitaan tersebut" .
Lebih lanjut, dalam ketentuan tersebut juga dinyatakan bahwa pengeluaran barang rampasan harus dilakukan oleh jaksa secara tertulis dan apabila barang rampasan tersebut dimusnahkan, pemusnahan oleh jaksa harus disaksikan oleh kepala Rupbasan. (Pasal 28 ayat (2) dan (3) Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1983)
Pertanyaannya kemudian, kenapa tanggung jawab secara fisik benda sitaan diberikan kepada Rupbasan?
Karena dengan terjaga secara fisiknya (kualitas) benda sitaan dalam Rupbasan, diharapkan korban tindak pidana tidak terlalu dirugikan (khususnya secara ekonomi) dan pada saat yang bersamaan kepentingan tingkat pemeriksaan terlayani dengan baik.
Dalam kerangka tersebut, menjadi logis apabila dalam ketentuan Pasal 46 KUHAP dinyatakan bahwa benda sitaan "harus" dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut sebagai wujud tanggung jawab negara memberikan keadilan bagi korban tindak pidana.
Ilustrasi terhadap hal tersebut dapat dilihat dari kasus pencurian emas. Dalam setiap tingkat pemeriksaan, barang bukti emas dalam wujudnya sebagai "corpora delicti" dipergunakan untuk kepentingan pembuktian. Selanjutnya, apabila kepentingan pembuktian sudah selesai, melalui vonis hakim yang kemudian dieksekusi oleh Jaksa, emas tersebut dikembalikan kepada korban.
Lalu bagaimana apabila korbannya bukan orang perorangan?
Dalam konteks negara yang menjadi korban (utamanya terkait dengan tindak pidana di bidang ekonomi dan korupsi) jaksa dalam tuntutannya akan meminta benda tersebut dirampas untuk negara, selanjutnya apabila hakim mengabulkannya, dalam vonis akan dinyatakan "benda sitaan tersebut dirampas untuk negara".
Di luar dua model putusan tersebut, hakim dapat juga memutuskan agar benda tersebut dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi. Model vonis seperti ini biasanya ditujukan terhadap benda sitaan yang berbahaya atau benda sitaan yang berpotensi untuk dipakai kembali melakukan kejahatan (misalnya mesin pencetak uang palsu).
Secara konseptual, dilahirkannya lembaga Rupbasan sebagai sebuah lembaga penting dalam KUHAP berpondasi diatas dua asas penting dalam KUHAP.
Pertama, asas diferensiasi fungsional. Asas ini menghendaki agar dalam penegakan hukum tidak terjadi "tumpang tindih" (overlapping) dalam proses penegakan hukum. Terpenting, pemusatan suatu kewenangan terhadap salah satu institusi adalah "haram" dilakukan.
Dalam konteks itu, Rupbasan hadir untuk memberikan jaminan terhadap benda sitaan sebagai bentuk perwujudan "kepastian hukum" terhadap benda sitaan.
Kedua, asas koordinasi, berupa pembagian tugas dan wewenang secara instansional dalam koridor hubungan antar instansi penegak hukum yang saling bekerjasama sekaligus pada saat yang bersamaan terbinanya suatu sistem saling mengawasi (system checking) antara sesama instansi