Pos Gizi Jadi Senjata Lawan Stunting
Pos Gizi digagas sebagai terobosan pencegahan stunting. Ito Wardin, Dosen Prodi Ners FIKES UMC menilai inisiatif ini efektif meningkatkan pemahaman masyarakat, pola asuh, dan gizi seimbang anak.

UMCPRESS.ID - Stunting masih menjadi momok kesehatan nasional. Angka prevalensi yang tinggi di sejumlah daerah membuat pemerintah terus menekan laju kasus ini. Di tengah upaya tersebut, dosen Program Studi Ners Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC), Ito Wardin, menekankan bahwa pemberdayaan masyarakat melalui pembentukan Pos Gizi dapat menjadi terobosan strategis.
Menurutnya, permasalahan stunting bukan hanya persoalan gizi, tetapi juga minimnya pemahaman orang tua terkait pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang sesuai dengan kebutuhan anak.
“Pos Gizi bukan sekadar tempat konsultasi, tetapi wadah edukasi, pelatihan, sekaligus pusat pemberdayaan masyarakat untuk membangun kemandirian dalam mengelola asupan gizi anak,” jelas Ito.
Penelitian yang dilakukan di PCA Penatarsewu, Tanggulangin, Sidoarjo, memperlihatkan antusiasme masyarakat yang tinggi terhadap inisiatif ini. Hasil evaluasi menunjukkan skor ketertarikan masyarakat berada di kisaran 10,98–12,74, sementara manfaat program tercatat 12,26, angka yang melampaui 50 persen dari skor maksimal. Data ini mengindikasikan penerapan Pos Gizi layak dan dapat memberikan dampak positif di tingkat akar rumput.
Pelatihan Pos Gizi yang digagas melibatkan pembentukan tim khusus dengan model Feeding Team Training. Prosesnya mencakup persiapan pra-pelatihan, pelatihan intensif selama tiga hari, kegiatan pasca-pelatihan, hingga kunjungan lapangan. Model ini dirancang untuk memastikan keberlanjutan program dan memperkuat layanan kesehatan di tingkat desa maupun kelurahan.
Selain meningkatkan pengetahuan orang tua, Pos Gizi juga diharapkan mampu mengubah pola asuh masyarakat. Pasalnya, faktor sosial seperti pernikahan dini, kurangnya kesiapan menjadi orang tua, hingga minimnya pengetahuan dasar tentang nutrisi anak turut memperparah kondisi stunting.
Dengan adanya Pos Gizi, masyarakat dapat belajar langsung mengenai pentingnya gizi seimbang, cara mengolah MP-ASI, hingga memahami risiko jangka panjang yang diakibatkan oleh gizi buruk.
“Stunting bukan hanya memengaruhi tinggi badan anak. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa berdampak pada perkembangan kognitif, menurunkan kualitas hidup, bahkan meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti diabetes dan hipertensi,” tambah Ito.
Lebih jauh, Pos Gizi juga digadang sebagai salah satu strategi untuk mendukung capaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya tujuan menghapus kelaparan dan segala bentuk malnutrisi pada tahun 2030. Pemerintah sendiri menargetkan penurunan prevalensi stunting hingga 14 persen pada 2024, dengan penurunan rata-rata 3,8 persen per tahun. Namun di sejumlah daerah, seperti Kabupaten Sidoarjo, capaian ini masih jauh dari target.
Melihat kondisi tersebut, keterlibatan akademisi, tenaga kesehatan, dan masyarakat menjadi kunci. Pos Gizi hadir bukan hanya sebagai intervensi sementara, melainkan sebagai bentuk kolaborasi jangka panjang dalam meningkatkan kualitas hidup generasi mendatang. Dengan semangat gotong royong, Pos Gizi diproyeksikan sebagai pusat perubahan gaya hidup sehat di tengah masyarakat.
Ito Wardin menegaskan bahwa langkah kecil di tingkat komunitas dapat memberi dampak besar bagi bangsa.
“Ketika masyarakat sadar dan peduli, maka upaya pencegahan stunting tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah semata, tetapi gerakan bersama yang berkelanjutan,” ujarnya menutup.