Selain Palestina, Taufiq Ismail Ajak Civitas UMC Telaah Sastra Puisi dengan Mata dan Hati

Selain Palestina, Taufiq Ismail Ajak Civitas UMC Telaah Sastra Puisi dengan Mata dan Hati
Rektor UMC, Arif Nurudin M.T bersama Legenda Sastra Indonesia, Taufiq Ismail (dok: istimewa)

UMCPRESS.ID - Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC) bersama Fakultas Ilmu Sosial Politik (FISIP) menggelar Musikalisasi Puisi yang menghadirkan legenda sastrawan Datuk Taufiq Ismail yang didampigi istrinya Ati Taufiq.

Kegiatan yang berlangsung di Aula Masjid Raya UMC, Rabu 13 Desember 2024 juga bekerjasama dengan Majalah Sastra Horison, Rumah Rengganis, Waves Studio, KBM APP. Pembacaan puisi karya Datuk Taufiq Ismail juga dimeriahkan oleh  penampilan  dari  para  deklamator  puisi,  pegiat komunitas sastra, dan group teater. 

Dalam Sambutannya, Rektor UMC Arif Nurudin MT menyambut hangat kehediran sosok terpandang, seorang legend sastrawan, pejuang kemanusiaan dan aktivis sosial yang gigih menyampaikan gagasan kemanusiaan, pendidikan dan dinamika sosial lainnya.

Lewat maha karya puisi, Datuk Taufiq Ismail mengajak anak bangsa memahami sastra dengan mat dan hati.  

Kehadiran Datuk Taufiq Ismail, kata Arif, menambah semangat belajar tentang kesastraan yang tidak hanya di baca dengan mata tapi dengan hati yang jernih, karena ilmu itu harus masuk ke dalam dada atau hati masing-masing orang. 

Memaknai sastra, tutur Arif, memiliki nilai yang mendalam. Sastra bukan hanya kumpulan kata-kata yang disusun, tapi juga cerminan kehidupan, pikiran, dan emosi manusia. Sastra seringkali menggunakan bahasa dengan keindahan dan kekayaan kata-kata. Membaca sastra dapat memperkaya kosa kata dan meningkatkan pemahaman terhadap penggunaan bahasa.

Sastra menuntun ilmuan untuk berliterasi, karena darisana akan tercipta ruang dialog. Indikator berilmu itu mau mempertengkarkan gagasan  yang konstruktif, egaliter dan keterbukaan bukan sentimen yang membentuk kabilah-kabilah yang terkungkukung pada semangat kroni dan golongan sehingga menjadi insan klaimer yang powerless secara ilmu.  

Puisi Datuk Taufiq ismail menempa insan cendikia untuk memiliki rasionalitas dalam berdealektika, memahami nilai ilmu dan etika, memaknai filosofi jembatan dan pintu sehingga mengetahui batasan dan ukuran dalam berucap dan bertindak. Menjadi insan sadar itu tak mudah, perlu kaca kehidupan sehingga mampu menempatkan diri. 

Bait-bait puisi Datuk Ismail mengajarkan integritas yang tidak terbangun dalam semalam, ada kandungan makna yang mendalam sehingga setiap pembaca puisi Datuk Taufiq itu menyadari betul bahwa membangun profesionalisme bukan karena kedekatan tapi sebuah proses ilmu yang terbentuk mulai dari akar hingga tumbuh menjadi pohon. 

" makna puisi Datuk Taufiq itu luar biasa, memahaminya tidak hanya dengan mata tapi hati," kesan Arif. 

 "Jangan sampai ilmu hanya masuk ke telinga, dan kemudian nyampai di otak. Ilmu yang posisinya hanya demikian itu, maka akan cepat hilang. Ibarat catatan yang ditulis diatas pasir akan hilang disapu ombak, tapi ilmu itu harus terpahat di atas karang, sedahsyat apapun hantaman ombak, tak akan menrusak pahatan-pahatan yang tercatat apik. Bahkan ilmu itu seperti kokohnya pohon kelapa di pantai yang menjulang tinggi namun tetap tegak, meski angin kencang menerpa, tapi Ia tetap perkasa bahkan tak lelah memberikan sumbangsih melalaui buah kelapa. Begitupun Datuk Taufiq, yang tegar menyampaikan gagasannya melintasi zaman dan waktu, tak ada rasa lelah yang terlontar dari ucapannya. puisi-puisi yang Ia buat tumbuh dalam nadi dan darah anak bangsa," tambahnya.

Sementara itu, Dekan FISIP UMC, Drs. Subhan Haris M.Si memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Datuk Taufiq Ismail yang sudah menyempatkan waktunya di UMC. 

Terlebih menjelang tahun politik 2024, sudah ramai komentar yang tendensius atau hoaks yang berseliweran di media sosial. Terkadang, terjadi friksi di masyarakat. Padahal masyarakat memerlukan kesejukan. Melalui puisi, bisa menjadi solusi untuk menguatkan nilai kemanusiaan. 

Menurut Subhan, kegiatan ini juga menjadi kado spesial di akhir tahun 2023 ini sekaligus suguhan menarik untuk mewarnai turbulensi yang semakin hangat. 

Senda dengan itu, Kepala UPT Perpustakaan UMC, Hani Oktiana Idawati, S.E menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah menyukseskan kegiatan ini. Wabil khusus, Datuk Taufiq Ismail,  rasa bangga yang sulit disampaikan dengan kata-kata.

Menghadirkan seorang Tokoh Sastra yang disegani oleh Dunia seperti Datuk Taufiq tak mudah. Di tengah kesibukannya, namum Datuk Taufiq mau menyemmpatkan waktu mencurahkan ilmunya kepada civitas UMC. 

" Terimakasih Datuk Taufiq Ismail," ucap Hani.

Lanjut, Hani, kegiatan ini juga wujud dari implementasi penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dengan Perpustakaan Nasional. Selain MoU, juga dilakukan Penandatanganan Memorandum of Agreement (MoA) antara Perpustakaan UMC dan Perpustakaan Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta (UNISA) Yogya belum lama ini.

Kesempatan yang sama, Nisa Rengganis, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi dan Pegiat Sastra juga mengamini soal kehadiran sosok Datuk Taufik yang sangat penting bagi civitas UMC. 

Selain itu, Nisa juga menuturkan urgensi panggung sastra membantu mahasiswa mengembangkan keterampilan komunikasi verbal dan non-verbal. Mereka belajar berbicara di depan umum, memahami nada bicara, dan mengekspresikan emosi dengan jelas.

Melalui pengalaman ini, mahasiswa memahami karya sastra dengan lebih mendalam. Mereka bisa merasakan dan meresapi nuansa, emosi, dan makna yang mungkin sulit dicapai melalui pembacaan biasa.

Berikut puisi Datuk Taufiq Ismail yang sangat dikenang.

“Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu?”

Ketika rumah-rumahmu diruntuhkan bulldozer dengan suara gemuruh menderu, serasa pasir dan batu bata dinding kamar tidurku bertebaran di pekaranganku, meneteskan peluh merah dan mengepulkan debu yang berdarah.

Ketika luasan perkebunan jerukmu dan pepohonan apelmu dilipat-lipat sebesar saputangan, lalu di Tel Aviv dimasukkan dalam file lemari kantor agraria, serasa kebun kelapa dan pohon manggaku di kawasan khatulistiwa, yang dirampas mereka.

Ketika kiblat pertama mereka gerek dan keroaki bagai kelakuan reptilia bawah tanah dan sepatu-sepatu serdadu menginjaki tumpuan kening kita semua, serasa runtuh lantai papan surau tempat aku waktu kecil belajar tajwid Al-Qur’an 40 tahun yang silam, di bawahnya ada kolam ikan yang air gunungnya bening kebiru-biruan kini ditetesi airmataku.

Palestina! bagaimana bisa aku melupakanmu?

Ketika anak-anak kecil di Gaza belasan tahun bilangan umur mereka, menjawab laras baja dengan timpukan batu cuma, lalu dipatahi pergelangan tangan dan lengannya, siapakah yang tak menjerit?!! serasa anak-anak kami Indonesia jua yang dizalimi mereka.

Tapi saksikan tulang muda mereka yang patah akan bertaut dan mengulurkan rantai amat panjangnya, pembelit leher lawan mereka, penyeret tubuh si zalim ke neraka.

Ketika kusimak puisi-puisi Fadwa Tuqan, Samir Al-Qassem, Harun Hashim Rashid, Jabra Ibrahim Jabra, Nizar Qabbani dan seterusnya yang dibacakan di Pusat Kesenian Jakarta, jantung kami semua berdegup dua kali lebih gencar lalu tersayat oleh sembilu bambu deritamu, darah kami pun memancar ke atas lalu meneteskan guratan kaligrafi;

‘Allahu Akbar!’ dan ‘Bebaskan Palestina!’

Ketika pabrik tak bernama, 1000 ton sepekan memproduksi dusta, menebarkannya ke media cetak dan elektronika, mengoyaki tenda-tenda pengungsi di padang pasir belantara, membangkangit resolusi-resolusi majelis terhormat di dunia, membantai di Shabra dan Shatila, mengintai Yasser Arafat dan semua pejuang negeri anda, aku pun berseru pada khatib dan imam shalat Jum’at sedunia:

“Doakan, doakan, doakan kolektif dengan kuat seluruh dan setiap pejuang yang menapak jalanNya! yang ditembaki dan kini dalam penjara, lalu dengan kukuh kita bacalah ‘laquwwatta illa bi-Llah!’, ‘laquwwatta illa bi-Llah!’, ‘laquwwatta illa bi-Llah!’”

Palestina! bagaimana bisa aku melupakanmu?

Tanahku jauh, tanah kami jauh bila diukur kilometer. Beribu-ribu kilometer jauh jaraknya, tapi adzan Masjidil Aqsa yang merdu serasa terdengar di telingaku, serasa terdengar di telinga kami, di Indonesia.