Hadirkan Wakil Ketua LPSK RI, FH UMC Gelar Kuliah Umum Soal Perlindungan Saksi dan Korban

Hadirkan Wakil Ketua LPSK RI, FH UMC Gelar Kuliah Umum Soal Perlindungan Saksi dan Korban
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI Dr. Maneger Nasution, M.H., M.A (dok istimewa)

UMCPRESS.ID - Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Cirebon (FH-UMC) menggelar Kuliah Umum Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia di Meeting Room UMC, Jum'at (29/12/2023) dengan menghadirkan Narasumber Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI Dr. Maneger Nasution, M.H., M.A.

Dalam sambutannya, Rektor UMC Arif Nurudin M.T mengatakan kuliah umum bersama dengan pejabat negara hingga praktisi di luar kampus sangat penting untuk memberikan pemahaman dan pelengkap materi pembelajaran di kelas.

“Dengan kuliah umum ini, kita mendapatkan pemahaman pentingnya perlindungan hukum kepada saksi dan korban dalam suatu permasalahan hukum. Dengan begitu, mahasiswa dapat menjadi agen perubahan di bidang hukum di masa yang akan datang,” ujar Arif.

Arif pun mengapresiasi Dr. Maneger atas waktunya untuk bisa hadir di UMC untuk memberikan kuliah umum yang diikuti oleh sejumlah dosen dan mahasiswa Prodi Hukum. 

Sementara itu, Dr. Maneger mengatakan bahwa kehadirannya di Universitas Muhammadiyah samahalnya berada di rumah sendiri, mengingat Ia pun akademisi dari Perguruan Tinggi Muhammadiyah.

Selanjutnya, Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA (UHAMKA) Jakarta ini menjelaskan ada dua jalur Perlindungan Saksi dan Korban, yakni berdasarkan Perspektif UDHR atau Universal Declaration of Human Rights dan berdasarkan Perlindungan dalam Sistem Peradilan Indonesia.

UDHR atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) adalah mengakui hak-hak dasar, yaitu hak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai individu. DUHAM mengatur hak-hak dasar manusia yang jadi pelaku kejahatan dan juga mengatur definisi korban, perlindungan dan penanganan serta hak-hak korban.

Prinsip-prinsip dasar keadilan bagi korban kejahatan pada DUHAM menyebutkan yang disebut korban adalah orang yang menderita kerugian lewat tindakan yang bertentangan dengan hukum pidana di suatu negara.

Oleh karena itu, di dalam DUHAM, korban berhak mendapatkan keadilan, dipermudah dalam proses pengadilan, berhak tidak diganggu, dilindungi kebebasan dan keselamatannya, mendapat ganti rugi, bantuan material, psikologis maupun sosial.

Di Indonesia, perlindungan saksi diatur pada Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 50-68, yang hanya mengatur perlindungan terhadap Tersangka atau Terdakwa dari berbagai kemungkinan pelanggaran HAM.

Atas desakan masyarakat sipil dan mandat Reformasi diterbitkan UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Kemudian disusul dengan lahirlah LPSK pada tanggal 8 Agustus 2008.

UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang memberikan mandat agar memberikan perlindungan kepada Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana, dapat diberikan sejak tahap Penyelidikan dimulai (Pasal 8 ayat(1) UU Perlindungan Saksi dan Korban).

Selain itu, UU nomor 13 tahun 2014 juga menghendaki agar memfasilitasi hak pemulihan bagi korban kejahatan, baik dengan bantuan medis, psikologis,rehabilitasi psiko-sosial, fasilitasi kompensasi dan restitusi.

Adapun subyek perlindungan yang diatur dalam UU 13 tahun 2014 pasal 5 ayat 3 meliputi korban, saksi, saksi pelaku (Justice Collaborator), pelapor (Whistle Blower), dan ahli.

Terakhir, Dr Elya Kusuma Dewi selaku Dekan FH UMC pun menerangkan bahwa kuliah umum ini merupakan kerja sama dengan LPSK RI dan Fakultas Hukum.

Dia memastikan bahwa kerjasama ini sangat penting dalam mengembangkan pemahaman dan keterampilan mahasiswa hukum serta meningkatkan efektivitas perlindungan bagi saksi dan korban. 

Melalui kolaborasi ini, mahasiswa dapat memperoleh wawasan praktis dan pengalaman langsung yang tidak bisa diperoleh di dalam kelas. Selain itu, hal ini juga memberikan kontribusi positif terhadap penyelenggaraan sistem peradilan yang lebih adil dan manusiawi.

Dengan terlibat dalam kegiatan bersama, mahasiswa dapat memahami secara mendalam tantangan yang dihadapi oleh lembaga perlindungan saksi dan korban. Mereka dapat belajar bagaimana melibatkan diri dalam penanganan kasus nyata, menggali aspek-aspek hukum yang relevan, dan memahami dinamika kerja lembaga tersebut. 

Selain itu, kolaborasi ini juga memberikan peluang bagi mahasiswa untuk berkontribusi aktif dalam pengembangan kebijakan perlindungan saksi dan korban.

"Secara keseluruhan, kerjasama antara FH UMC dan LPSK RI tidak hanya memberikan manfaat bagi mahasiswa, tetapi juga membantu meningkatkan efektivitas lembaga perlindungan itu sendiri melalui adopsi ide-ide inovatif dan pemahaman yang lebih dalam tentang isu-isu hukum," tutup Dekan FH UMC.